Korupsi ?siapa yang tidak
mengenal korupsi. Kasus korupsi di Indonesia seakan sulit dihentikan. Hampir
setiap hari, masyarakat disuguhkan pemberitaan mengenai kasus korupsi. Mengapa
korupsi di Indonesia sulit diberantas?.
Korupsi
memang menjadi momok bagi semua aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
tidak hanya aspek ekonomi melainkan aspek politis pendidikan, kesehatan,
kesejahteraan dan lainnya. Yang paling parah adalah dengan maraknya budaya
korupsi moral dan akhlak suatu bangsa bisa sangat rusak karena hal tersebut
sama halnya dengan mengisap darah kaum miskin dan rakyat pada umumnya.
Oleh
karenanya kenapa kita semua menginginkan praktek korupsi bisa diberantas habis
sampai ke akar-akarnya dari bumi pertiwi yang tercinta ini. Namun sejauh ini
kenapa upaya pemberantasan korupsi sangat sulit dicapai, pasti selalu ada saja
pihak yang merasa dirugikan dengan adanya upaya pemberantasan korupsi, siapa
mereka tentunya mereka adalah pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh
praktek korupsi.
Korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan
rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti
harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi
bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi
sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian
uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini
saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk
membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Pada dasarnya motif
/alasan yang mendorong seseorang melakukan tindakan korupsi ada dua penyebab
yaitu dorongan kebutuhan (need driven)
dan dorongan kerakusan (greed
driven). Memang sama2 korupsi namun ternyata latar belakang orang melakukan
perilaku tercela itu memang berlainan. Sebenarnya perilaku korupsi ini telah
mengakar di elemen masyarakat luas, tidak hanya terjadi di institusi baik
pemerintah ataupun swasta baik dilakukan oleh aparatur pemerintah ataupun
pegawai swasta.
Praktek korupsi
berkembang pada situasi dimana job security tinggi dengan tingkat
profesionalitas yang rendah sehingga para pegawai tersebut sering menyalah
gunakan kewenangannya untuk memenuhi keinginannya daripada pelaksanaan tugas
yang seharusnya dia laksanakan.
Kenapa
korupsi masih terjadi dan pemberantasan korupsi seolah berjalan ditempat.
Masalahnya adalah karena korupsi emang telah menjadi budaya bangsa ini. Sejak
aku masih kanak-kanak aku sudah terbiasa mendengar istilah uang suap, pelicin
dan uang bawah tangan dan semua sejenisnya. Kalau bikin KTP ya harus
menyediakan uang tidak resmi kalau ingin urusan lancar. Sampai aku dewasa
sekarang ternyata istialh tersebut belum hilang malah bertambah seperti
misalnya dengan istilah dengan uang pelancar, uang jago, uang keamanan dan lain
sebagainya.
Jadi secara
masif semua lapisan masyarakat sudah dibiasakan dengan budaya korupsi sejak
mereka masih kecil hingga dewasa. Kejadian seperti contek masal yang terjadi di
Surabaya misalnya adalah adalah semacam bibit yang disemai para pendidik
secara tidak sadar yang akan menjadikan para murid nantinya menjadi pelacur
terpelajar. mereka rela berbohong secara masal demi mendapatkan nilai secara
tidak berhak. Nilai-nilai semacam inilah sudah mulai dipupuk sejak masih
anak-anak. Sehingga tidak heran ketika seseorang beranjak dewasa mereka sudah
tidak canggung lagi bersentuhan dengan suasana yang korup bahkan cenderung
permisif dan toleran akan hal tersebut. Istilahnya korupsi dilakukan secara
berjamaah, sehingga korupsi bukan lagi sesuatu yang tabu untuk dilakukan.
Korupsi
merupakan kejahatan yang sulit diungkap karena korupsi melibatkan dua pihak,
yaitu koruptor dank lien yang keduanya berupaya untuk menyebunyikan kejadian
tersebut, mengingat manfaat besar korupsi bagi mereka dan/atau risiko hokum
atau social apabila tindakan mereka teruangkap. Dalam kasusu korupsi saat klien
dan pejabat korup yang sama-sama menikmati manfaat, mereka akan menutupi aksi
mereka agar kepentingan mereka tetap terlindungi. Sementara, dalam kasus
korupsi saat salah satu pihak merupakan korban, si korban cenderung tidak
melaorkan kejadian mengingat, dalam banyak kasus, korban dapat dipermasalahkan
ketika membongkar kasus korupsi dengan berbagai alas an termasuk alas an
pencemaran nam baik.
Dunia
yang semakin materialistis juga mendorong perilaku ingin cepat kaya instan dan
malas bekerja keras. Cara yang paling gampang adalah memanfaatkna kedudukan dan
jabatan untuk memperkaya diri sendiri. Orang dengan kekayaan akan dipandang
sebagai orang yang sukses dan dihormati terlepas dari mana kekayaan tersebut
didapat. Orang berlomba untuk mendapatkan kekayaan agar bisa memperoleh
kehormatan dan kekuasaan.
Jika
dilihat para pejabat dan penguasa yang terliaht lebih kaya dari seharusnya sebagian justru terlhat
sederhana. Mereka "mungkin" melakukan korupsi dan penyalahgunaan
jabatannya untuk mendapatkan kekayaan yang tidak wajar. Akan tetapi kekayaan
tersebut bukan untuk diri mereka sendiri. Akan tetapi untuk keluarga, istri dan
anak-anaknya. Sedangkan diri mereka sendiri mungkin termasuk orang dengan pola
hidup yang sederhana. akan tetapi karena lingkungna mereka yang sangat
menghargai kehidupan yang meterialistis, mau tidak mau mereka juga ikut dalam
arus tersebut. Paling tidak istri dan anak-anaknya masuk dalam pergaulan yang
sangat menghargai meterialisme. Karena itu sangat komplek sekali jika kita
ingin memberantas korupsi.
Memang
tidak semudah seperti membalikkan sepotong ikan di piring. Karena semua lapisan
masyarakat ikut terlibat dan sistem yang ada juga mendukung praktek yang korup
ini. Sejarah mencatat begitu
banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat karena mengangkat isu pemberantasan
korupsi sebagai tema sentral kampanye mereka. Tetapi paradoks terjadi, terlepas
apakah mereka benar-benar anti korupsi dan pada walnya berupaya keras untuk memberantas
korupsi, ataukah mereka sekadar menggunakan isu korupsi untuk meraih simpati
masa saja, banyak di antara mereka yang jatuh akibat kasus korupsi.
Jadi
kunci utama tetap ada pada sang pemimpin. Tidak ada peperangan yang dimenangkan
jika tidak dipimpin oleh seorang pemimpin yang handal. Tidak juga ada bisnis
yang berhasil dan sukses tanpa dipimpin oleh orang yang kompeten. Bahkan negara
kita menunggu hingga 300 tahun lamanya untuk bisa lepas dari penjajahan karena
memang belum ada pemimpin yang mampu untuk melepaskan negeri ini dari penjajah.
Pertanyaannya sampai kapan hal ini akan
berlangsung. Apakah kita hanya menunggu dan melihat saja tanpa melakukan
sesuatu dan berharap korupsi akan pergi dengan sendirinya. Akuyakin sampai
korupsi sudah mencapai titik jenuh maka akan muncul seorang pemimpin yang akan
bersedia mati untuk memimpin pemberantasan korupsi ini. Kapan waktunya akan
terjadi, mungkin aku sendiri yang akan memimpin negeri ini terbebas dari
korupsi. Kita tunggu saja apakah mimpiku ini akan menjadi kenyataan.
Korupsi tidak bisa ditekan ke level
nol,, tetapi dapat digiring menuju ke level optimal. Secara teori upaya
pemberantasan korupsi akan terus dilakukan hingga kerugian yang ditanggung
masyarakat akibat perunit korupsi. sama dengan biaya pemberantas per unit
korupsi. Ketika titik keseimbangan tersebut terjadi, pemberantasan korupsi
umumnya dihentikan, meniggalkan jumlah korupsi pada level omtimum tertentu.
Sumber :
aksayalfath.files.wordpress.com/.../mengapa-korupsi-sulit-di-berantas.
0 komentar:
Posting Komentar